Ikan gabus dan berbagai hidangan ikan air tawar dari Sungai Bedog dan Progo menjadi primadona kuliner sebuah rumah makan di daerah Ki Ageng Mangir Wonoboyo dulu berkuasa. Di tempat ini, kita juga menemukan kuliner unik nan langka.
Buka setiap hari = 09.00 - 20.00 WIB
Lokasi:
Tempuran Ngancar, Mangir Kidul, Sendangsari, Pajangan, Bantul, Yogyakarta, Indonesia
Gempa yang mengguncang wilayah Jogja dan sekitarnya di pertengahan tahun 2006 menjadi sejarah awal berdirinya sebuah tempat makan di tepi tempuran Ngancar, di mana Sungai Bedog dan Sungai Progo saling menyapa. Kami mencoba menemukan tempat makan yang letaknya cukup mblusuk tersebut dengan bantuan Google dan GPS. Sampai akhirnya kami bertemu kompleks gubuk-gubuk sederhana dan sebuah bangunan utama dengan spanduk bertuliskan "Rumah Makan Legokan Ngancar".
Seorang ibu pengelola rumah makan menyambut kami sembari memberikan daftar menu ketika kami menginjakkan kaki di bangunan utama. Keberuntungan sedang bersama kami hari ini, karena hampir semua menu tersedia kecuali sayur asam. Aneka olahan ikan air tawar, sayur dan berbagai macam pilihan sambal mengisi deretan menu di Rumah Makan Legokan Ngancar dengan harga yang bersahabat.
Setelah menentukan pesanan, kami menunggu di salah satu gubuk beralas tikar yang disediakan untuk tempat bersantap. Dari kejauhan terlihat beberapa orang sedang mengail di pintu air yang menyekat Sungai Bedog dan Progo sekaligus menjadi jembatan penghubung antara Desa Mangir dengan Siyangan. Tak hanya di lokasi tersebut, beberapa titik strategis di sepanjang sisi kedua sungai juga dipenuhi pemancing. Sebuah panorama yang tidak aneh karena kawasan tempuran Ngancar memang menjadi salah satu destinasi memancing favorit sejak dulu. Potensi itu juga dilihat oleh Pak Basri, sehingga lahirlah Rumah Makan Legokan Ngancar. Gubuk-gubuk yang dulunya digunakan untuk pengungsian korban gempa, diubahnya menjadi tempat makan khas ndeso.
Beberapa menit berlalu tanpa ada tanda-tanda pesanan kami diantar. Saya memutuskan blusukan di sekitar rumah makan hingga secara tak sengaja saya bertemu Bu Surat, istri Pak Basri yang sedang memetik daun ketela. Dari Bu Surat juga saya tahu jika semua sayur yang diolah di rumah makan ini berasal dari kebun sendiri dan dipetik ketika akan dimasak. Jadi bisa dipastikan sayurannya masih segar.
Sebuah papan yang tampak seperti denah sederhana menarik perhatian saya. "Peta Wisata Desa Mangir" tertulis dengan huruf kapital di bagian atasnya. Jalanan desa dan situs-situs yang menjadi saksi sejarah Desa Mangir seperti situs Batu Gilang, Batu Lumpang, Lembu Andini, Linggayoni serta petilasan Ki Ageng Mangir Wonoboyo menjadi objek utamanya. Sejarah Desa ini memang tak pernah lepas dari sosok pemimpin wilayah perdikan Mangir di zaman Kerajaan Mataram, Ki Ageng Mangir Wonoboyo. Kisah cintanya dianggap tragis karena berakhir ditangan mertuanya sendiri, Panembahan Senopati sang penguasa Kerajaan Mataram. Awal cerita Ki Ageng Mangir Wonoboyo dianggap sebagai pembangkang dengan segala pemikirannya yang menolak sistem kasta dan tak mau tunduk pada penguasa termasuk Kerajaan Mataram. Hingga akhirnya dengan pernikahan rekayasa, trah Majapahit ini bisa ditaklukkan.
Cukup lama saya menjelajah di sekitar tempuran Ngancar, saya kembali ke gubuk tempat kami makan tepat ketika Bu Surat menyajikan pesanan. Ternyata waktu yang kami habiskan untuk menunggu pesanan hampir satu jam. Tak heran jika perut kami mulai menjerit kelaparan. Memesan makanan di rumah makan ini memang perlu kesabaran, karena Bu Surat memang hanya memasak makanan ketika ada pesanan. Jika tak ingin menunggu terlalu lama seperti kami, rumah makan ini juga melayani pesanan via telepon. Sehingga ketika datang, makanan sudah siap untuk dinikmati.
Di atas meja, sederet sajian ikan air tawar yang digoreng dan dimasak mangut tampak menggugah selera. Beberapa jenis sambal dan olahan sayur juga memenuhi meja makan kami. Semangkuk sajian mangut berkuah kuning terlihat menonjol di antara ikan-ikan yang digoreng. Sekilas tak jauh berbeda dengan mangut lele. Namun ketika dicicipi, rasa dagingnya agak lebih liat ketimbang lele. Belakangan saya tahu mangut yang dimasak Bu Surat adalah mangut ikan gabus dari Sungai Progo. Pak Basri dan Bu Surat tampaknya menganggap mangut lele sudah terlalu mainstream hingga si Channa Striata dijadikan sebagai pengganti ikan berkumis tersebut.
Menu selanjutnya yang menggelitik rasa penasaran adalah semangkuk sayur lompong berkuah kuning. Setahu saya tak banyak tempat makan yang menyediakan menu masakan dari batang tanaman caladium ini. Terbayang rasa geli dan gatal di lidah ketika mencicipi potongan batang lompong. Namun alih-alih gatal, sayur lompong yang dimasak Bu Surat rasanya lezat dengan perpaduan pedas, sedikit manis dan segar. Menu sayuran yang langka ini pun seketika menjadi primadona di lidah kami.
Perjalanan yang cukup jauh dan berlokasi mblusuk serta lamanya waktu menunggu sajian dihidangkan, semua terbayar dengan rasa lezat dari masakan bu Surat. Suasana ndeso di Legokan Ngancar, suara gemericik pertemuan aliran Sungai Bedog dan Progo serta semilir angin menambah rasa nikmat ketika kami bersantap.
Sumber: https://www.yogyes.com/id/yogyakarta-culinary/rumah-makan-legokan-ngancar/
0 Response to "RUMAH MAKAN LEGOKAN NGANCAR"
Posting Komentar