Menikmati kesegaran sebathok saoto racikan Mbah Katro dengan suasana "ndeso" yang asri adalah pilihan tepat setelah kita menikmati keindahan arsitektur Candi Sambisari.
Harga = Rp 5.000 / porsi
Buka setiap hari = 06.00 WIB - habis
Lokasi:
Jalan Candi Sambisari, Yogyakarta, Indonesia
Menyusuri sepanjang jalan bersemen di sebelah situs Candi Sambisari ke arah utara, akan kita temukan deretan saung-saung bambu yang berjejer rapi di pinggir sawah. Sebuah papan petunjuk menjelaskan tempat apakah sebenarnya kompleks saung bambu itu. Membaca papan petunjuk yang bertuliskan "Saoto Bathok Mbah Katro", yang terlintas di pikiran saya pertama kali adalah soto dengan mangkok bathok atau tempurung kelapa. Tapi kenapa penulisannya "saoto" dan bukan "soto"? Sempat terpikir ada kesalahan penulisan.
Mengintip sedikit tentang soto dan sejarahnya, ternyata saoto adalah sebutan lain untuk soto yang digunakan di daerah Solo dan bukan karena kesalahan penulisan. Sebutan soto yang beragam adalah hasil karya masyarakat kita yang suka mengucapkan istilah-istilah seenak lidah. Kuliner soto yang didirikan Mbah Katro akhir tahun lalu ini memang mengusung genre soto Solo, sehingga penamaannya pun memakai istilah daerah asalnya.
Sebelum memasuki kompleks saung bambu, kami berhenti di saung bambu utama untuk memesan soto daging sapi, menu satu-satunya yang ditawarkan Mbah Katro. Namun untuk teman makannya bisa memilih tempe goreng, sate usus atau sate telur puyuh yang di bumbu bacem.
Memasuki deretan saung-saung bambu kita bisa memilih ingin duduk di lesehan dengan tikar atau duduk di bangku bambu. Dari tempat kami duduk, Candi Sambisari tampak mengintip dengan puncaknya (Candi Sambisari terletak 6,54 m di bawah permukaan tanah, jadi meskipun dekat hanya terlihat puncaknya). Di kompleks saung bambu itu kita bisa menemukan rawa buatan, ayunan dan jugkat-jungkit sederhana yang terbuat dari bambu. Sebuah pelengkap yang pas dengan pemandangan sawah sebagai background utamanya. Jika sedang beruntung kita akan menemukan burung bangau terbang rendah di sekitar area persawahan. Pemandangan yang tak biasa inilah yang menjadi daya tarik Saoto Bathok.
Seolah sudah diatur waktunya, pesanan pun datang setelah kami puas menikmati pemandangan. Asap tipis mengepul dari mangkok-mangkok bathok yang berisi soto daging sapi lengkap dengan nasi. Sambal, irisan jeruk nipis dan tempe yang kami pesan disajikan dalam piring-piring tanah liat berukuran kecil. Penyajian Saoto Bathok memang berkesan tradisional dan unik. Sangat cocok dengan tempat dan suasana alam pedesaannya yang kental.
Segar dan tidak berlemak adalah sensasi pertama yang kita rasakan ketika mencicipi kuah Saoto Bathok yang bening. Sudah menjadi ciri khas soto Solo yang lebih menonjolkan rasa segar perpaduan kuah bening dan kecambah daripada rasa rempah yang dominan seperti kuliner soto kebanyakan. Soto akan semakin nikmat ketika ditambahkan perasan air jeruk nipis dan memakannya bersama tempe goreng. Bisa juga ditambah sambal dan kecap.
Usai menandaskan sebathok saoto, iseng saya bertanya pada bapak-bapak yang sedang meracik soto. Siapa yang menyangka sang bapaklah yang bernama Mbah Katro. Padahal jika dilihat dari penampilannya Mbah Katro masih terlalu muda untuk dipanggil "mbah" (sebutan kakek dalam bahasa Jawa). Mbah Katro yang sebelumnya adalah pegawai hotel, memutuskan pensiun dini dan menyulap lahannya menjadi warung soto. Ternyata keputusan Mbah Katro untuk pensiun dini adalah keputusan yang tepat. Terbukti meskipun di Jogja banyak kuliner soto yang sudah melegenda, Saoto Bathok Mbah Katro tetap memiliki banyak peminat.
Sumber: https://www.yogyes.com/id/yogyakarta-culinary/saoto-bathok-mbah-katro/
Subhanallah enaknya Saoto Bathok Mbah Katro, pengen banget nyobanya,murah dan yang pastinya enak
BalasHapus