Tekstur pulen dan lembut, ditambah inovasi bermacam rasa, membuat thiwul tak lagi jadi makanan kelas dua. Statusnya berubah, yang semula menjadi makanan jaman penjajahan, kini menjadi buruan wisatawan.
Harga makanan = Rp 6.000 - 24.000
Buka setiap hari = 06.00 - 20.30 WIB
Lokasi:
Jalan Pramuka 36 Wonosari, Gunungkidul, Yogyakarta, Indonesia
"orang bilang tanah kita tanah surga,
tongkat kayu dan batu jadi tanaman"
Lirik lagu Kolam Susu yang dilantunkan oleh Koes Plus tadi sepertinya tepat untuk melukiskan Gunungkidul. Perbukitan tandus dipenuhi batuan karst menjadi pemandangan jamak di sebagian besar wilayahnya. Namun, bukan berarti penduduk di sini kehilangan akal untuk memenuhi kebutuhan perut. Dengan menancapkan batang singkong atau ketela pohon (Manihot) di tanah bebatuan, penduduk Gunungkidul bisa memanen hasilnya lalu mengolah menjadi makanan bernama thiwul. Dibawa dari Brazil dan diperkenalkan oleh orang Portugis ke Nusantara di abad 16, singkong cocok ditanam di Gunungkidul yang tandus.
Thiwul pernah menjadi makanan pokok Gunungkidul di era penjajahan Jepang sebagai pengganti beras yang sulit didapat. Sifatnya yang mengembang ketika sampai di perut membuat si penyantap menjadi cepat kenyang, hal itu menguntungkan di jaman penjajahan yang situasinya serba susah.
Kini, thiwul bukan lagi makanan pokok Gunungkidul, posisinya berganti menjadi kudapan atau jajanan pasar. Salah satu penjual thiwul yang legendaris adalah Tumirah. Sudah 28 tahun sejak tahun 1985, Yu Tum, panggilan akrabnya, menjual thiwul. Berawal dari berjualan keliling kampung, saat ini Yu Tum yang usianya hampir sepuluh windu sudah mempunyai 3 gerai yang ditangani oleh menantunya. Gerai sekaligus dapur utamanya terletak di Jalan Pramuka no.36, sebelah Balai Desa Wonosari. Meninggalkan stigma panganan jaman Jepang, thiwul semakin dilirik para pelancong yang berkunjung ke Gunungkidul.
Thiwul Yu Tum memang istimewa. Tumbukan gapleknya halus, sehingga bila matang ditanak terasa lembut di mulut, mirip tekstur roti. Selain itu, Yu Tum juga menambahkan gula Jawa sebagai pemanis. Sementara parutan kelapa yang menjadi pendamping setianya, semakin menambah rasa gurih. Paduan yang pas! thiwul bisa dinikmati langsung sebagai kudapan, bisa juga dijadikan nasi yang disantap bersama sambal bawang dan sayur lombok ijo. Lauk gathot dan belalang goreng khas Gunungkidul pun bisa jadi alternatif pilihan. Semuanya tersedia di tempat Yu Tum. Ada juga thiwul rasa keju dan coklat yang harus dipesan terlebih dahulu untuk bisa mencicipnya.
Cara membuat thiwul adalah dengan menjemur umbi ketela pohon sampai menjadi gaplek (singkong kering), kemudian menumbuknya hingga hancur, dan terakhir dikukus. Sampai sekarang, Yu Tum masih memakai tungku tradisional berbahan bakar kayu yang disebut luweng, kuali dari logam, dan kukusan kerucut dari bambu. Ciri pawon tradisional Jawa yang kini telah jarang ditemui. Hal ini tetap dipertahankan untuk selalu menjaga citarasa hasil olahannya. Sementara kukusan berbentuk kerucut difungsikan untuk mencetak thiwul yang berbentuk gunungan. Bila ingin membawa pulang sebagai buah tangan, Yu Tum telah menyiapkan besek bambu untuk membungkus gunungan thiwul.
Selain thiwul, Yu Tum juga mengolah ketela menjadi beberapa makanan lain. Sebut saja gathot, keripik, dan yang terbaru adalah gethuk goreng. Tersedia pula thiwul instan yang bisa dikukus sendiri di rumah. Kemampuan penduduk Gunungkidul mengolah hasil buminya memang luar bisa. Meskipun cenderung tandus dan sulit ditanami, terbukti tetap menghasilkan makan lezat nan bergizi.
Gunungkidul memang tanah surga, tongkat dan batu bisa disulap jadi tanaman. Jangan-jangan Yok Koeswoyo sang pencipta lagu Kolam Susu itu mendapat inspirasi dari thiwul Gunungkidul.
Sumber: https://www.yogyes.com/id/yogyakarta-culinary/thiwul-yu-tum/
0 Response to "THIWUL YU TUM"
Posting Komentar