Manisnya kecap berpadu pedasnya cabai rawit cincang dalam jumlah banyak adalah cita rasa khas Sate Petir. Ketika sebagian orang parno melihat banyaknya cabai, para penggila kuliner pedas malah ketagihan dengan sensasi rasanya yang membakar lidah.
Buka setiap hari = 12.00 - Habis
Lokasi:
Jl. Ring Road Selatan 90, Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta, Indonesia.
Warung Sate Petir Pak Nano, begitulah tempat makan ini dikenal oleh para pecinta kuliner. Kata "Petir" digunakan karena sajian sate yang disediakan di warung ini memiliki cita rasa pedas sebagai ciri khasnya. Pembeli pun bisa memilih level pedas yang diinginkan. Uniknya, jenjang pendidikan seperti TK hingga profesor digunakan untuk membedakan seberapa pedas sajian sate yang bisa dipesan di warung ini.
Sambil menunggu pesanan, kami pun melihat pembuatan sate dan tongseng petir secara live di open kitchen sederhana ala Pak Nano. Ternyata setiap pesanan dimasak satu-per-satu di atas tungku anglo, sehingga kita harus mengantri beberapa menit hingga masakan kita selesai diracik. Dengan cekatan, Pak Nano meracik bumbu-bumbu seperti lada, berbagai jenis rempah, garam, tomat, dan lain-lain. Saya agak bergidik merinding begitu melihat Pak Nano mengambil satu genggaman penuh cabai rawit alias Jalapeno yang beliau potong tipis-tipis. Seluruh cabai ini dimasukan begitu saja ke dalam kuah tongseng yang sedang dimasak, lalu diaduk hingga tercampur rata. Duh, nggak terbayang deh rasa pedasnya!
Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya makanan yang kami tunggu pun datang. Baik sate dan tongseng sama-sama terlihat kental, penuh dengan raturan biji dan irisan cabai yang menyamarkan potongan daging kambing di bawahnya. Aroma pedas ala merica tercium kuat dari kuah tongseng yang mengepul, cukup untuk membuat mata kami berair. Begitu dicoba, rasa manis dari kuah tongseng terasa lebih kuat, dengan sedikit rasa pedas yang tidak terlalu menyengat. Namun hal ini hanya terjadi selama beberapa detik, disusul dengan sambaran rasa pedas yang membuat lidah kepanasan. Dalam waktu singkat rasa pedas ini meningkat berkali-kali lipat, membuat wajah kami berkeringat dan telinga berdengung kepanasan. Satu gelas es teh yang kami pesan pun langsung habis untuk mengobati rasa pedas ini.
Rasa pedas yang sama juga terasa saat kami mencicipi sate kambing Pak Nano. Rasanya memang tidak terlalu nyelekit seperti tongseng, namun potongan cabai rawit yang menggunung tetap membuat kita merinding. Rasa manis dan gurih dari daging tetap terasa di lidah, bercampur dengan rasa pedas yang membuat mulut kepanasan. Namun bukannya membuat kita berhenti makan, rasa pedas ini justru membuat kita ketagihan.
Sambil menyesap es teh dan berusaha menetralkan rasa pedas yang masih terasa di lidah, saya pun mengobrol dengan Pak Nano dan istrinya yang masih sibuk memasak di dapur depan. Sambil mengipas bara api di dalam anglo, Pak Nano bercerita tentang sejarah warungnya yang buka sejak tahun 1980. Menurut beliau, bisnis sate ini merupakan warisan dari kakeknya yang ia teruskan hingga saat ini.
"Dulunya saya jualan di Jl Letjen S. Parman, kemudian baru 11 tahun yang lalu pindah ke sini," ujarnya.
Begitu ditanya soal rasa masakannya yang pedas, Pak Nano mengaku mendapatkan ide dari pelanggannya. Ada banyak pelanggan yang meminta sate dan tongseng super pedas, sehingga lama kelamaan Sate Pak Nano identik dengan rasa pedas. Julukan "Petir" sendiri juga berasal dari pelanggan setia Pak Nano, berasal dari rasa pedas masakannya yang menyambar bagaikan petir. Jangan khawatir, rasa pedas ini bisa disesuaikan dengan kapasitas lidah kok! Pak Nano pun sering menggunakan istilah jenjang pendidikan untuk mendeskripsikan tingkatan pedas masakannya. Masakan tidak pedas sering disebut sebagai "level PAUD" atau "level TK", sementara yang paling pedas bisa disebut "level sarjana", "level doktoral", atau bahkan "level profesor". Uniknya, tidak ada standar khusus untuk setiap level ini, karena disesuaikan dengan perkiraan Pak Nano sendiri.
"Pokoknya kalau level profesor, saya kasih potongan cabai sampai pisaunya tumpul," canda Pak Nano sambil tertawa lebar. "Tapi kalau nggak pedas bakar sendiri saja mas, hahaha..." lanjutnya sambil melirik salah satu pelanggan yang memesan Tongseng tanpa cabai.
Rasa pedas Pak Nano ini ternyata mengundang rasa penasaran berbagai kalangan masyarakat. Warung sederhana ini pun sering dikunjungi oleh orang-orang tekenal seperti Bondan Winarno, Mira Lesmana, Butet Kartaredjasa, dan lain-lain. Lucunya Pak Nano sering tidak mengenal pelanggan-pelanggan "istimewa" tersebut dan menganggapnya sebagai pelanggan biasa. Baru setelah melihat pelanggan lain ingin berfoto dengan para artis, Pak Nano tersadar kalau warungnya dikunjungi oleh orang terkenal.
Ketika ditanya soal harga cabai yang sering naik turun, Pak Nano mengaku tidak khawatir. Menurutnya, itu sudah menjadi resiko Pak Nano sebagai pedagang masakan pedas. Bagi beliau tidak masalah jika harga naik melambung tinggi, yang penting pelanggannya masih bisa merasakan sensasi pedas sate dan tongseng masakannya.
"Yang penting makannya wajar-wajar saja mas, sesuai dengan kemampuan lidah masing-masing. Dulu ada pelanggan saya yang pesan tongseng super pedas sampai saya lupa berapa cabainya. Besoknya masuk rumah sakit," komentar Bu Marmi, istri Pak Nano yang membantunya berjualan.
Komentar Bu Marmi memang tidak mengada-ada. Senyawa capsaicin yang terkandung di dalam jaringan buah cabai memang bisa membuat kita sakit perut, diare, hingga iritasi usus. Namun jangan salah, rasa pedas cabai ternyata juga memiliki berbagai efek positif seperti menaikan kadar testoteron pria, menurunkan resiko kanker, meringankan rasa sakit kepala, membantu mengurangi sakit pada penderita arthtitis, dan lain-lain. Jadi, jangan takut makan pedas!
Sumber: https://www.yogyes.com/id/yogyakarta-culinary/sate-petir/
0 Response to "SATE PETIR PAK NANO"
Posting Komentar